Kabar Pusri

Kebijakan Pangan tidak Sentuh Pupuk dan tidak Pro Petani

06 February 2008

Pemerintah dan Holding pupuk mengalokasikan urea sebesar 25 ribu ton untuk memasok pupuk di Jawa Barat yang sempat mengalami kelangkaan sebulan terakhir. Tetapi, ancaman masih ada karena subsidi pupuk masih kurang Rp2 triliun.

"Untuk Jabar yang sempat mengalami kekosongan pasokan sudah diisi dari Pusri, PKG, dan PKT. Pasokan tersebut sebesar 25 ribu ton dari alokasi yang sebelumnya ditujukan untuk ekspor," ungkap Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso di Jakarta, Sabtu (2/2).

Menurut Sutarto, kelangkaan pupuk di Jabar memang sempat terjadi sejak akhir Desember lalu. Penyebab kelangkaan itu ialah kerusakan yang terjadi di pabrik Kujang 1A. Akibatnya, petani dibeberapa daerah di Jabar seperti Cirebon sempat sulit menemukan pupuk khususnya urea.

Meski begitu, Sutarto mengatakan kelangkaan ini sudah cepat diantisipasi oleh Holding. Sehingga, secara umum kelangkaan tidak mengganggu proses pertanaman yang saat ini memasuki usia dua bulan. Dengan tambahan pasokan itu diharapkan petani bisa melakukan pemupukan untuk menjaga kualitas padinya. "Saya kira sekarang persoalan ini sudah bisa ditangani," ujarnya.

Terkait subsidi pupuk, Sutarto mengatakan pemerintah telah menganggarkan dana dalam APBN 2008 sebesar Rp7,51 triliun. Anggaran itu jauh lebih besar daripada anggaran 2007.

Tahun lalu, subsidinya Rp5,8 triliun ditambah anggaran belanja tambahan jadi Rp6,8 triliun. Meski begitu, dengan kenaikan harga gas, phosphate, dan penambahan jumlah pupuk diperkirakan anggaran ini belum mencukupi. Apalagi, harga eceran tertinggi (HET) pupuk masih dipertahankan.

Asumsi awal, menurut Sutarto, anggaran ini hanya akan mencukupi kebutuhan hingga bulan Agustus atau sampai Oktober 2008. Kendati demikian, hal ini masih bergantung pada pola pemakaian dan penyerapan pupuk bersubsidi di lapangan.

Bila pola sama terjadi seperti tahun lalu, bisa dipastikan akan butuh tambahan subsidi. "Saya pikir subsidi pupuk ini masih menjadi prioritas pertama pemerintah. Apalagi, target penambahan produksinya sebesar 5%. Memang perhitungan kita masih kurang sekitar Rp2 triliun, tapi kan ada APBN perubahan," jelas Sutarto.

Sutarto mengingatkan, selain beras pemerintah tahun ini juga menargetkan penambahan produksi kedelai. Sudah tentu pasokan pupuk sebagai sarana pendukung pencapaian produksi akan menjadi prioritas.

Namun, petani pun harus melakukan efisiensi dalam pemakaian pupuk. Pasalnya, sampai kini pemupukan oleh petani masih selalu berlebihan atau tidak berimbang.

Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan paket kebijakan stabilisasi harga pangan. Paket ini meliputi pemberian fasilitasi bagi importir kedelai, gandum, dan terigu juga bagi industri minyak goreng berupa insentif fiskal.

Insentif itu diperkirakan mencapai Rp10 triliun lebih. Sedangkan, untuk industri tahu tempe pemerintah mengalokasikan bantuan langsung senilai Rp500 miliar.

Untuk masyarakat miskin pemerintah juga mengalokasikan tambahan subsidi raskin kurang lebih Rp2,6 triliun dan subsidi minyak goreng Rp500 miliar.

Akan tetapi, dalam paket tersebut pemerintah tidak satupun menyebutkan adanya penambahan subsidi pupuk ataupun insentif harga bagi petani. Untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi petani membutuhkan penyesuaian harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras.

Selain itu, kepastian harga bagi kedelai petani. Insentif ini untuk menambah penghasilan petani yang saat ini juga mengalami kesulitan dengan melonjaknya berbagai kebutuhan pokok. "Itu bukan kebijakan yang propetani. Jadi sangat kontra produktif dengan arah kebijakan revitalisasi pertanian yang bertujuan meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani," tutur Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (Wamti) Agusdin Pulungan, Minggu (3/2).

Menurut Agusdin, paket kebijakan pangan selain tidak propetani juga diragukan efektivitasnya. Pasalnya, semua insentif yang diberikan di hulu yakni tingkat importir dan produsen belum tentu akan terdistribusi pada harga di tingkat konsumen. Sedangkan, harga pangan saat ini sudah naik dan sulit untuk turun kembali.

"Konsumen saat ini sudah menerima kenaikan harga. Sehingga, importir dan kartel menjadi pihak yang sangat diuntungkan oleh kebijakan tersebut," katanya. (Toh/OL-03)
Laporan Tata Kelola Info Publik FAQ